![]() Bicara soal puisi berarti membahas mengenai bahasa yang termasuk dalam karya sastra. Bahasa yang digunakan bisa berbeda tergantung ekspresi perasaan dari penyair. Dengan mengekspresikan gpikiran yang membangunkan perasaan dan imajinasi dalam susunan yang berirama. Isi puisi merupakan pesan-pesan dari pengalaman manusia, kemudian diubah dengan wujud yang paling berkesan. Karena itulah bahasa puisi menurut Luxemburg (1989) tidak lugas dan objektif, melainkan berperasaan dan subjektif. Sehingga, puisi merupakan penghayatan kehidupan manusia totalitas yang dipantulkan oleh penciptanya dengan segala pribadinya, pikirannya, perasaannya, kemauannya, dan lain-lain menurut Situmorang (2007). Apakah sobat Sona telah mengetahui bahwa peringatan Hari Puisi terjadi dua kali di Indonesia? Mari simak bersama ya! Hari Puisi Sedunia diperingati pada 21 Maret yang merupakan hasil resolusi UNESCO 1999. UNESCO menyebutkan tujuan dari adanya Hari Puisi Sedunia untuk memperkenalkan pembacaan, penulisan, penerbitan serta pengajaran puisi di seluruh dunia. Kemudian juga untuk memberikan dukungan bagi gerakan puisi nasional, regional dan internasional. Perayaan Hari Puisi Sedunia biasanya dengan digelarnya beberapa festival puisi, seperti Festival Puisi Cork, Festival Puisi Bogota, dan lain-lain. Kemudian ada pula peringatan Hari Puisi Nasional yang diperingati pada 28 April atau hari puisi yang diperingati di Indonesia. Bertepatan pada peringatan wafatnya legenda penyair Indonesia, Chairil Anwar. Dikutip dari laman Kemendikbud bahwa Chairil Anwar merupakan seorang penyair yang menghasilkan 96 karya termasuk 70 puisi dan dinobatkan sebagai pelopor angkatan 45 berkat persembahannya di bidang sastra. Penyair puisi modern ini membuat puisi-puisi yang merompak semangat kemudian menyatu pada buku pelajaran Bahasa Indonesia. Salah satu puisi yang erat kaitannya dengan Chairil Anwar berjudul ‘AKU’ karena mampu membangkitkan semangat di masa pergerakan dan perjuangan awal kemerdekaan. AKU Kalau sampai waktuku ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya yang terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Sama halnya dengan hari peringatan lainnya yang ditentukan dengan kelahiran tokoh yang bersangkutan, maka Hari Puisi Nasional ditetapkan dengan menggunakan hari wafat dari tokoh Chairil Anwar agar mengenang serta memberikan semangat kepada masyarakat dalam berpuisi. Personanya yang memberikan inspirasi dapat melahirkan penyair-penyair nasional yang membuat perubahan pada dunia sastra menjadi lebih luas lagi. Selamat Hari Puisi, semangat berkarya, Semoga karya sastra selalu berkembang! Daftar pustaka Luxemburg, J.V. (2007) Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Situmorang, BP (2009) Puisi dan Metodologi Pengajarannya. NTT: Nusa Indah. Hamid, D. A., & Mascita, D. E. (2019). Kajian Puisi dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Ajar Teks Puisi Berbasis Pendekatan Inkuiri. Jurnal Tuturan, 8(1), 11-18. UNESCO seleb.tempo.co ditsmp.kemdikbud.go.id formadiksi.um.ac.id
0 Comments
Hai, balik lagi sama Fakta Psikologi yang membahas mengenai gangguan jiwa dan pastinya berdasarkan fakta dari Psikologi.
Kali ini Fakta Psikologi akan membahas mengenai salah satu sindrom yaitu body integrity identity disorder, kira-kira sudah pernah dengar belum sebelumnya? mari simak penjelasan berikut! Body integrity identity disorder (BIID) adalah sindrom di mana seseorang memiliki perasaan intens bahwa tubuh mereka akan lebih lengkap setelah amputasi anggota badan (Kasten, 2009). Sebagian besar ilmuwan berhipotesis bahwa alasannya adalah disfungsi neurologis di area otak yang bertanggung jawab untuk merasakan perbedaan antara tubuh dan lingkungan (Hodzic, Kaas, Muckli, Stirn, & Singer, 2009; McGeoch, Bramg, & Ramachandran, 2009; Oddo et al., 2009; Vitacco, Hilti, & Brugger, 2009). Bagi banyak orang, keinginan untuk kehilangan satu anggota tubuh begitu besar sehingga mereka mencoba untuk mengamputasi bagian tubuh tertentu, misalnya dengan menembak lututnya sendiri, dan ada yang menggunakan guillotine buatan sendiri, gergaji listrik, dry ice, pemotong kayu, atau rel kereta api (Elliott, 2000; Furth & Smith, 2000; Horn, 2003; Kasten, 2006; Money & Simcoe, 1987). Bahkan beberapa orang sampai mencari ahli bedah terbaik di dunia dengan imbalan yang besar untuk melalukan operasi atau amputasi terhadap dirinya (Cuen & Benkoil, 2000; Elliott, 2000; Kasten, 2006). Namun keinginan mereka yang ingin mengamputasi bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka sendiri ini mempunyai konsekuensi, salah satu konsekuensi umum adalah adanya beberapa dari mereka yang menderita BIID takut menjadi gila, dan meminta bantuan di institusi atau psikoterapi. Kemudian beberapa tindak lanjut penderita BIID yang berhasil diamputasi mengalami peningkatan kesejahteraan, biasanya tidak mengembangkan keinginan untuk amputasi tambahan, dan tidak menderita nyeri tungkai hantu atau rasa sakit yang seolah berasal dari anggota tubuh yang telah diamputasi atau tidak ada (Bayne & Levy, 2005; First, 2005). Biasanya penderita BIID tidak dapat menjelaskan keinginannya. Hampir semua dari mereka tahu bahwa keinginan mereka untuk menjadi cacat adalah tidak normal, namun hanya sedikit yang dapat menceritakan perasaan ini kepada kerabat atau teman. "Your hardest times often lead to the greatest moments of your life. Keep going. Tough situations build strong people in the end.” ―Roy T. Bennett, The Light in the Heart Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 3 Desember kita memperingati Hari Disabilitas Nasional. Oleh sebabnya ada bahasan yang menarik terkait hal ini, yakni bagaimanakah Psychological Well-Being (PWB) pada individu dengan disabilitas?
Jadi psychological well-being adalah konsep mengenai kondisi psikologis terkait optimalnya keberfungsian diri. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan dan pandangan diri secara positif. Konsep ini populer dikembangkan oleh Ryff dan Keyes pada tahun 1995. Orang dengan kondisi PWB yang baik akan berpengaruh pada kepuasan hidupnya. Hal ini ditandai dengan memiliki persepsi positif akan diri dan berperilaku positif kepada orang lain, mandiri dalam mengambil keputusan, mampu menciptakan lingkungannya sendiri yang kompatibel, memiliki tujuan, hidup bermakna, dan mampu mengembangkan potensinya secara maksimal. Kemudian definisi disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama (UU. no 8 th. 2006). Penelitian terkait PWB pada penyandang disabilitas banyak dilakukan di luar negeri (internasional) maupun di Indonesia. Hal ini menandakan jika PWB penting untuk dimiliki pada setiap individu pada kondisi apapun. Hasilnya secara akumulasi berpacu pada temuan Horn, individu disabilitas memiliki PWB tinggi apabila mereka memiliki semangat yang tinggi dan memiliki persepsi jika kecacatan bukan hambatan. Hal ini tampak pada atlet-atlet disabilitas. Namun tidak sedikit penyandang disabilitas belum mencapai tahap ini sehingga mereka menjadi terpuruk dan kurang sejahtera secara psikologis. Wah menarik sekali ya bahasan kita, kalau menurut Sobat Sona, apa sih hal yang membuat kalian bermakna? Jawab di kolom komentar ya! “Don't be disabled in spirit, as well as physically" -Stephen Hawking Sumber: Paramita, A., & Nugrahawati, E. N. (2012). Studi Deskriptif tentang Psychological Well-Being pada Tunadaksa di Komunitas Kreativitas Difabel Bandung. 334–341. Halo sobat sona, apa yang kamu pikirkan setelah membaca istilah di atas ?
Pasti penasaran kan mengenai bahasan kita kali ini? simak penjelasannya yuk! Trikotilomania diklasifikasikan sebagai gangguan impuls kontrol dan merupakan sebuah gangguan perilaku menarik rambut secara berulang yang bersifat kronis dan mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut. Perilaku menarik rambut tersebut tidak hanya dilakukan pada area kulit kepala, namun juga pada area pubis, alis, atau bulu mata. Trikotilomania dapat terjadi pada anak-anak maupun individu dewasa. Pada individu dewasa, trikotilomania lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Perilaku menarik rambut dapat muncul pada saat individu berada dalam situasi yang tenang atau netral, seperti saat membaca buku, menonton televisi, bekerja di depan komputer dan sebaliknya dapat juga terjadi dalam situasi yang penuh tekanan. Beberapa perilaku lainnya yang dapat muncul dalam gangguan trikotilomania berdasarkan DSM IV-TR, yaitu memeriksa akar rambut, memutar-mutar rambut, menarik rambut dengan menggunakan gigi atau memakannya, menarik rambut dari hewan peliharaan, boneka ataupun bahan berserat lainnya. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya trikotilomania, adalah stress, rendahnya kemampuan individu dalam meregulasi emosi, adanya penguat positif dari perilaku tersebut serta faktor genetik (Dewi & Kurniawan, 2020). Trikotilomania memiliki dampak negatif pada fungsi sosial individu, seperti enggan untuk bersosialisasi dengan orang lain, penurunan performa kerja atau akademik, dan mengisolasi diri (Madelaine, 2020). Hilangkan kebiasaan buruk. Kebiasaan ini melelahkan teman. Banyak yang anda korbankan padahal tidak memberikan faedah sama-sekali buat kebaikan hati. Terbiasalah berbuat baik karena kebaikan itu mendamaikan hati. ~ lasealwin Referensi : Dewi, P. Y. T., & Kurniawan, A. (2020). Dinamika psikologis individu yang mengalami Trikotilomania. Jurnal Psikologi Udayana, 7(1), 40-48. Madelaine, D. (2020). GAMBARAN KEPARAHAN PERILAKU MENCABUTI RAMBUT DAN DAMPAK PSIKOSOSIAL PADA WANITA DENGAN TRIKOTILOMANIA (Doctoral dissertation). Hallo Sobat Sona semua! Kali ini akan membahas mengenai delusi cotard, sudah pernah dengar belum? Ini termasuk gangguan yang langka lho, yuk simak!
Delusi cotard adalah gangguan neuropsikiatri langka di mana orang memegang keyakinan delusi bahwa mereka sudah mati, tidak ada, membusuk, atau telah kehilangan darah atau organ dalam. Dapat dikatakan juga gangguan depersonalisasi yang merupakan gangguan disosiatif (gangguan kepribadian ganda) yang ditandai dengan periode perasaan terputus atau terlepas dari tubuh dan pikiran seseorang (Billon, 2016). Kebanyakan individu yang mengalami delusi cotard memiliki masalah depresi dan kecemasan yang parah. Cara mereka menggambarkan pengalaman yang berhubungan dengan dirinya sendiri sangat tidak wajar. Seperti terus-menerus meyakini bahwa ia memiliki identitas atau "diri" dan menjadi tubuh tanpa isi, yakin bahwa otaknya telah lenyap, ususnya telah menghilang, dan seluruh tubuhnya tembus cahaya (Debruyne dkk., 2009). Pada tahun 2013, seorang laki-laki Inggris bernama Graham didiagnosis menderita delusi cotard setelah menyakini bahwa otaknya mati. Dia percaya bahwa dia sudah membunuh otaknya setelah percobaan bunuh diri akibat depresi berat. Graham mengaku bahwa dia kerap pergi ke kuburan. “Tempat itu adalah yang terdekat dimana saya bisa mati.” Dia mengungkapkan, “Saya tidak perlu berbicara, makan, atau melakukan apapun.” Setelah diberikan psikoterapi dan terapi obat, kondisi Graham berangsur membaik (CNN, 2015). Dalam kasus individu penderita delusi cotard dapat disimpulkan bahwa mereka merasa tidak hidup, seperti dirinya bukanlah dirinya lagi walaupun masih menjalani kehidupan seperti biasanya. Namun, beberapa dari mereka sadar akan perasaan dan pengalaman tidak biasa ini baik terkait kondisi tubuh ataupun mentalnya. "Ada harapan, bahkan ketika otakmu mengatakan tidak ada." -John Green Referensi : Billon, A. (2016). Making sense of the Cotard syndrome: Insights from the study of depersonalization.Mind andLanguage,31(3), 356–391. CNN Indonesia. (2015). Sindrom cotard, ketika seseorang merasa bahwa dirinya telah mati. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20151106073958-255-89810/sindrom-cotard-ketikaseseorang-merasa-dirinya-telah-mati Debruyne, H., Portzky, M., Van den Eynde, F., & Audenaert, K. (2009). Cotard’s syndrome: A review.Current PsychiatricReports,11(3), 197–202. Hai hai sobat sona, balik lagi sama fakta psikologi!
Sebelum masuk ke pembahasan persona mau nanya nih, menurut sobat sona apa sih identitas itu? Yap, sebagian dari kita pasti akan menjawab identitas sebagai “karakteristik khas” pada diri yang membedakan diri kita dengan orang lain. Namun, sebelum itu pasti kita pernah berada di fase krisis identitas bukan? Lalu bagaimana cara beberapa individu menghadapinya? Hal ini yang kemudian akan kita bahas. Identity foreclosure merupakan istilah yang pertama kali dikemukakan oleh tokoh legendaris psikologi yakni Erik Erikson (1959) dalam fase diagram perkembangan miliknya. Hal ini kemudian dikembangkan lagi oleh James E. Marcia yang kemudian mengidentifikasikan jika fenomena ini umumnya terjadi di fase remaja. Identity foreclosure mengacu pada istilah ketika seseorang secara prematur berkomitmen pada suatu peran yang dijadikan identitasnya atas landasan sosial atau parental dalam rangka menghindari krisis identitas. Sedangkan krisis dalam konteks ini mengacu pada permasalahan yang timbul ketika seseorang melakukan eksplorasi utamanya dalam hal kebermaknaan. Berkaitan dengan definisi itu, teridentifikasi jika identity foreclosure umumnya terjadi di masa remaja. Sebagai gambaran, misal seorang remaja mengatakan jika dia adalah pendukung salah satu kubu politisi besar karena orang tuanya melakukan hal tersebut tanpa mencari tahu mengapa atau menggali alasannya lebih lanjut. Berdasarkan pengertian itu, identity foreclosure merupakan manifestasi hambatan dari eksplorasi identitas diri. Orang-orang dengan identity foreclosure umumnya memiliki kecenderungan untuk mengadopsi pilihan atau keputusan orang tua, kurang memiliki otonomi diri , dan kecenderungan untuk otoriter. Menarik bukan pembahasan kita kali ini? Kalau sobat sona, kira-kira sejak kapan kalian merasa sudah menemukan identitas diri? Boleh share di kolom komentar ya! “In the social jungle of human existence, there is no feeling for being alive without a sense of identity” -Erik Erikson- Source : Brewer, Britton W; Petitpas, Albert J (2017). Athletic identity foreclosure. Current Opinion in Psychology, 16(), 118–122.doi:10.1016/j.copsyc.2017.05.004 Hai hai Sobat Sona jumpa lagi
Seperti biasa kita akan mengupas istilah-istilah menarik psikologi lainnya untuk kalian semua. Kali ini kita akan belajar mengenali apa itu quarter life crisis. Fenomena quarter life crisis sendiri sudah tidak asing lagi bagi kita kalangan remaja. Istilah ini menurut Fischer (Habibie dkk, 2019) merupakan perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan yang akan datang meliputi relasi, karier, dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar usia 20-an. Selanjutnya Byock (dalam Khabib, 2020) mendefinisikan quarter life crisis sebagai suatu benturan antara memasuki masa dewasa dengan dorongan untuk mencapai kehidupan yang lebih menantang karena banyaknya pilihan untuk diambil. Misalnya dalam hal relasi interpersonal, pekerjaan serta hubungannya dengan komunitas. Takut untuk mencoba hal baru, tidak ingin meninggalkan zona nyaman, cemas akan masa depan, bingung dengan jalan hidup atau pilihan hidupnya, merasa tidak mampu dalam melakukan suatu hal, dan pemikiran negatif lainnya yang membuat individu stres bahkan depresi (Hayati dalam Khabib,2020). Kategori quarter life crisis adalah sebagai berikut, a) The locked-out form, yaitu ketika individu merasa tidak mampu untuk memiliki peran sebagaiorang dewasa; dan b) The locked - in form, yaitu ketika individu merasa terjebak dalam perannya sebagai orang dewasa. Kedua model ini memang tidak dapat dikatakan universal tetapi cukup representatif dalam memberikan gambaran mengenai keadaan seseorang saat mengalami quarter-life crisis (Robinson dkk dalam Herawati & Hidayat, 2020) Terdapat tujuh aspek yang dapat menjadi pertanda individu mengalami quarter-life crisis menurut Robins dan Wilner (dalam Sumartha, 2020) diantaranya: 1. Kebimbangan dalam pengambilan keputusan 2. Putus asa 3. Penilaian diri yang negatif 4. Terjebak dalam situasi sulit 5. Cemas 6. Tertekan 7. Khawatir terhadap hubungan interpersonal We're Adults? When Did That Happen? How Do Wi Make It Stop? ~ women blazing trails Sumber: Habibie, A., Syakarofath, N. A., & Anwar, Z. (2019). Peran Religiusitas terhadap Quarter-Life Crisis (QLC) pada Mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 129-138. Herawati, I., & Hidayat, A. (2020). Quarterlife Crisis Pada Masa Dewasa Awal di Pekanbaru. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 145-156. Khabib, M. F. (2020). Efektivitas Pemberian Hipnosis Untuk Meningkatkan Self-Efficacy Mahasiswa Akhir Dalam Memasuki Dunia Kerja Di Jurusan Psikologi FIP Unnes (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Semarang). Sumartha, A. R. (2020). Pengaruh Trait Kepribadian Neuroticism terhadap Quarter-Life Crisis dimediasioleh harapan pada mahasiswa tingkat akhir Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim). Halo, selamat hari senin sobat sona!
Ketemu lagi sama fakta psikologi! Bahas apa lagi ya? Langsung aja yuk! Setiap individu pasti merasakan perasaan takut atau ketakutan. Namun jika individu terus menerus merasakan ketakutan, maka perasaan tersebut dapat menjadi sebuah gangguan. Gangguan ketakutan memiliki bentuk yang bebeda-beda, yaitu berdasarkan obyek yang dijadikan dasar ketakutannya, antara lain adalah ketakutan pada tempat terbuka atau keramaian atau yang disebut agoraphobia. Istilah agoraphobia berasal dari bahasa Yunani yang artinya takut terhadap tempat-tempat belanja (market place). Orang-orang yang memiliki gangguan agoraphobia takut akan kerumunan (crowded) atau tempat-tempat ramai. Mereka juga takut pada ruang-ruang sempit dan akhirnya mereka juga takut akan tempat yang luas dan terbuka, khususnya jika mereka sendirian. Menurut Sutardjo A, Wiramihardja (2005) menjelaskan arti agoraphobia yaitu suatu ketakuatan berada dalam suatu tempat atau situasi di mana ia merasa bahwa ia tidak dapat atau sukar menjadi baik secara fisik maupun psikologis untuk melepaskan diri. Terdapat pula pendapat dari Kartini Kartono (1981) menjelaskan agoraphobia merupakan suatu kondisi di mana penderita menjadi cemas di lingkungan yang asing atau saat mereka merasa memiliki sedikit kontrol. Pemicu untuk kegelisahan ini mungkin termasuk ruang terbuka lebar, orang banyak (kegelisahan sosial), atau bepergian (bahkan jarak pendek). Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan makna dari agoraphobia yaitu perasaan takut di berbagai tempat di mana individu mungkin mendapatkan masalah dalam menyelamatkan diri atau meminta pertolongan dalam keadaan genting (emergency). Keadaan genting yang membuat mereka merasa takut adalah serangan panik. Jika individu sering menganggap ketakutannya sebagai suatu hal yang tidak bisa dihilangkan, maka akan muncul ketegangan, kekacauan pikiran yang diwujudkan melalui tidak ada keberanian dalam berhadapan dengan orang lain. Akan tetapi selama individu mampu mempertahankan kontaknya secara realistis dan memandang secara realistis serta mampu mengatasi permasalahannya dengan benar, maka ketakutannya pada tempat-tempat terbuka atau keramaian tidak akan terjadi. "Dia yang telah mengatasi ketakutannya akan benar-benar bebas." –Aristoteles Sebagian dari kita mungkin sudah umum dengan istilah memendam perasaan, namun tahukah Sobat Sona jika memendam perasaan merupakan salah satu kajian psikologi yang mendasar. Yuk simak bahan berikut untuk cari tahu. Dalam psikologi terdapat istilah untuk mendefinisikan memendam perasaan. Istilah tersebut dikenal dengan represi. Represi mengacu pada kecenderungan diri untuk menghambat pengalaman ataupun ekspresi negatif bahkan pikiran negatif guna melindungi diri dari ancaman psikologis. Bentuk represi secara sederhana adalah seseorang yang mengalihkan pembicaraan ketika dia tidak nyaman untuk menjawabnya. Represi juga dapat dikatakan sebagai bentuk penghindaran terhadap informasi yang mengancam. Selain contoh sederhana tadi, terdapat juga hal lainnya yang dapat menggambarkan represi yakni, orang dewasa yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga sewaktu kecil kemudian mengalami trauma hingga ia tumbuh dewasa. Namun, ia memendam ingatan dan perasaan menyakitkan tersebut hingga terkubur jauh di bawah alam sadarnya. Hal demikian itu termasuk proses represi yang dimana ia menekan ingatan serta perasaan yang menyakitkan atau tidak menyenangkan dari pikiran sadarnya. Represi merupakan respon natural tubuh dalam melindungi diri, namun apabila terlalu sering maka dapat berpotensi mengancam kesehatan mental dan mengakibatkan seseorang berpotensi besar mengalami kecemasan, stres, dan depresi. “Unexpressed emotion will never die. They’re buried alive and always come forth later in uglier ways.” - Sigmund Freud Sumber : Bert Garssen (2007). Repression: Finding Our Way in the Maze of Concepts. , 30(6), 471–481. doi:10.1007/s10865-007-9122-7 Tanpa kita sadari barnum effect biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sebenernya apa sih
barnum effect itu? kira-kira sudah pada tau belum, yuk cek this out! Barnum effect merupakan fenomena psikologis yang ditemukan oleh seorang Psikolog Amerika bernama Bertram R. Forer. Pada tahun 1956 diciptakanlah nama resmi dari fenomena psikologis tersebut dengan nama barnum effect oleh seorang Psikolog bernama Paul Meehl dalam esainya yang berjudul wanted- a good cookbook. Barnum effect merupakan fenomena di mana orang cenderung menerima pernyataan- pernyataan ambigu, samar-samar dan umum sebagai deskripsi akurat atas kepribadiannya (Dickson & Kelly) Barnum effect atau efek Forer, juga disebut sebagai efek Barnum-Forer, adalah suatu fenomena psikologis ketika seseorang menganggap akurat deskripsi mengenai diri mereka yang seolah dibuat khusus untuk mereka, padahal deskripsi tersebut sebenarnya sangat umum sehingga dapat berlaku untuk banyak orang. Efek ini menjelaskan mengapa banyak orang percaya dengan praktik-praktik tidak ilmiah seperti astrologi, ramalan, grafologi, pembacaan aura dan beberapa jenis tes kepribadian. Contohnya, saat membaca kolom horoskop, pembaca secara aktif mencoba mengaitkan isi horoskop tersebut dengan aspek kepribadian mereka. Bertram R. Forer melakukan percobaan klasik pada tahun 1948 kepada 39 mahasiswa psikologinya dengan membagikan tes psikologi dan mereka diberitahu bahwa mereka akan mendapatkan deskripsi kepribadian mereka berdasarkan hasil tes tersebut. Satu minggu kemudian, Forer memberikan kepada setiap mahasiswa sebuah deskripsi yang seolah ditulis khusus untuk mereka. Kebanyakan mahasiswa merasa bahwa hasil tes kepribadian tersebut akurat. Kenyataannya, mereka semua mendapatkan "deskripsi kepribadian" yang sama. Forer juga menyusun "hasil tes kepribadian" tersebut dari buku astrologi dan kalimat-kalimat yang digunakan adalah kalimat yang sangat umum. Contoh kalimat-kalimatnya adalah "kamu ingin agar orang lain menyukaimu", "kamu cenderung kritis kepada dirimu sendiri", atau "kamu punya kapasitas yang belum sepenuhnya kamu gali." `~do you want Barnum effect because that's how you get barnum's effect~` |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
April 2022
Categories |