Hai sobat sona, bagaimana kabarnya? Sudah siap untuk menerima pengetahuan baru tentang psikologi? Hari ini kita akan membahas tentang OCD, yuk langsung aja!
Obsessive compulsive disorder (OCD) merupakan gangguan yang cukup umum kita dengar, gangguan ini bersifat jangka panjang serta kronis. OCD terjadi melibatkan pikiran obsesi serta perilaku yang berulang (kompulsif). OCD bukan sekadar kebiasaan namun juga mengekang, dapat dianalogikan seseorang dengan OCD seperti boneka yang dikendalikan oleh pemikiran obsesif tersebut. Pikiran obsesif yang muncul bahkan datang meski tidak diinginkan atau direncanakan dan susah untuk ditolak serta berulang-ulang, ketika pemikiran itu muncul harus segera direalisasikan apabila tidak akan menyebabkan kecemasan. Perilaku kompulsif mengacu pada perilaku yang berulang untuk segera melakukan hal sesuai dengan pemikiran obsesif. Bentuk gejala yang cukup umum terkait OCD seperti rasa takut pada kontaminasi kuman sehingga harus membersihkan sesuatu atau mencuci tangan secara berlebihan, pikiran terpacu pada hal terorganisir sehingga harus mengorganisasikan segala hal yang tampak, dsb. OCD memiliki variasi tingkatan dari ringan hingga berat, pemilik OCD biasanya menghindari segala hal yang memicu pemikiran dan perilaku mereka, bahkan pada beberapa kasus bentuk penghindaran melibatkan konsumsi alkohol dan narkotika. Penyebab dari gangguan ini dapat berasal dari gen, struktur otak, serta lingkungan (pada lingkungan banyak studi yang menemukan erat kaitannya dengan trauma masa kecil). Untuk diagnosis penanganan baiknya dilakukan oleh tenaga profesional seperti psikolog ataupun psikiater serta terkait penanganan umumnya melibatkan psikoterapi, penggunaan obat medis, relaksasi dan meditasi, serta hal terkait. Dengan diagnosis serta penanganan yang tepat pikiran obsesif serta perilaku kompulsif dapat terkontrol. “Never trust your fears, they don’t know your strength” Athena singh
0 Comments
Yuk ketahui apa itu keluarga dalam Psikologi!
Menurut Hill, keluarga diartikan sebagai suatu rumah tangga dengan hubungan darah atau perkawinan dan sebagai tempat terselenggaranya fungsi-fungsi ekspresif keluarga bagi individu-individu di dalamnya. Menurut Burgess dan Locke, keluarga adalah sekelompok individu yang terikat oleh perkawinan atau darah yang memiliki struktur ayah, ibu, anak perempuan, anak laki- laki, dan lainnya serta memiliki kebudayaan untuk dipertahankan. Menurut Psikologi, keluarga bisa diartikan sebagai dua orang yang berjanji hidup bersama yang memiliki komitmen atas dasar cinta, menjalankan tugas dan fungsi yang saling terkait karena sebuah ikatan batin, atau hubungan perkawinan yang kemudian melahirkan ikatan sedarah, terdapat pula nilai kesepahaman, watak, kepribadian, yang satu sama lain saling mempengaruhi walaupun terdapat keragaman, menganut ketentuan norma, adat, nilai yang diyakini dalam membatasi dan yang bukan keluarga. Psikologi khusus terdiri dari beberapa cabang, salah satunya yaitu Psikologi Keluarga. Psikologi Keluarga merupakan pemahaman tentang interaksi atau pola sosial dalam keluarga. Psikologi Keluarga bisa diartikan sebagai suatu keilmuan yang mempelajari tentang kejiwaan dalam interaksi individu individu dalam sebuah jaringan ikatan darah atau perkawinan. Keluarga sendiri terdiri dari beberapa individu yang bisa diisi dari dua generasi, tiga generasi, atau bahkan lebih. Banyaknya individu dalam keluarga ini akan mempengaruhi kualitas interaksi antar individu dan berdampak pada sisi psikologi individu maupun kelompok. Keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu:
Ciri-ciri pola hubungan yang melekat pada keluarga yang bahagia adalah kesatuan dengan Sang Pencipta, kesatuan dengan alam semesta, komitmen, saling berkonsultasi, kerjasama dan saling percaya, toleransi, tenggang rasa yang baik antar sesama anggota keluarga. Yuk coba ide beberapa kegiatan seru berikut ini dengan keluarga agar tetap harmonis
“Family makes a house a home” ~Jennifer Hudson~ Pernahkah kalian mendengar istilah pollyanna syndrome?
Yuk simak penjelasan berikut mengenai pollyanna syndrome. Prinsip pollyanna dapat disebut juga pollyannism atau bias positif merupakan kecenderungan orang untuk mengingat hal-hal yang menyenangkan dengan lebih akurat daripada yang tidak menyenangkan. Nama pollyanna syndrome diambil dari novel tahun 1913 berjudul “Pollyanna” oleh Eleanor H. Porter yang menggambarkan seorang gadis memainkan permainan yang menyenangkan dan mencoba menemukan sesuatu yang membuat senang dalam setiap situasi. Tahun 1969 merupakan awal penggunaan nama "pollyanna" dalam literatur psikologi oleh Boucher dan Osgood untuk menggambarkan hipotesis pollyanna sebagai kecenderungan manusia universal untuk lebih sering menggunakan kata-kata positif dan lebih beragam daripada kata-kata negatif ketika berkomunikasi. Pada tahun 1978 Margaret Matlin dan David Stang menggunakan pola dasar pollyanna secara lebih spesifik sebagai prinsip psikologis yang menggambarkan bias positif yang dimiliki orang ketika memikirkan masa lalu. Menurut prinsip pollyanna, otak memproses informasi yang menyenangkan dan cocok dengan cara yang lebih tepat dibandingkan dengan informasi yang tidak menyenangkan. Para peneliti menemukan bahwa orang dengan pollyanna syndrome mengekspos diri mereka sendiri pada rangsangan positif dan menghindari rangsangan negatif. Meskipun prinsip pollyanna dapat dilihat bermanfaat dalam beberapa situasi, beberapa psikolog mengatakan bahwa hal ini menghambat seseorang untuk hidup secara efektif. Prinsip pollyanna dalam beberapa kasus dapat dikenal sebagai pollyanna syndrome dan didefinisikan sebagai orang-orang yang terlalu positif dan buta terhadap hal negatif atau nyata. Bagaimana pembahasan kali ini? menarik bukan? “And most generally there is something about everything that you can be glad about, if you keep hunting long enough to find it.” -Eleanor H. Porter, Pollyanna Holaa Sobat Sona, bagaimana kabarnya niih? Tidak terasa sudah 1 tahun kita menghadapi Pandemi Covid-19. Sudah banyak hal juga yang kita lalui mulai dari social distancing, quarantine, dan melakukan segala kegiatan di rumah.
Banyak perubahan yang kita rasakan semenjak menghadapi pandemi, utamanya terkait interaksi kita secara sosial. Perubahan ini tentunya mempengaruhi kita cukup banyak, tuntutan untuk melakukan social distancing dan quarantine memaksakan kita untuk terisolasi sehingga terpisah dari keterkoneksian, hal ini beresiko terhadap perasaan kesepian dan terasing. Maka tidak heran jika banyak dari kita tidak merasa bahagia dan justru secara mental menjadi tidak sejahtera. Oleh karenanya, untuk menanggulangi hal ini sangat disarankan untuk meningkatkan mindfulness. Mindfulness merupakan kesadaran yang didasari atas fokus yang disengaja terhadap masa sekarang (present moment) dengan cara menerima kondisi tanpa menghakimi. Sederhananya, kondisi mindfulness merupakan keadaan penuh perhatian dan kesadaran tentang apa yang terjadi di masa sekarang. Metode ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu metode terapi efektif saat ini. Banyak penelitian yang menunjukkan jika metode mindfulness bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis individu mencangkup menurunkan stres, rasa cemas, dan depresi. Berikut langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk menuju mindfulness:
Untuk meningkatkan mindfulness yang lebih optimal, disarankan agar dilakukan serutin mungkin dengan frekuensi yang konsisten yakni 30-40 menit dalam kondisi yang rileks. Mindfulness bukanlah hal yang sulit, seperti merasakan hembusan angin, mendengarkan detak jantung sendiri, merasakan irama pernapasan, dan lain sebagainya. Kemudian untuk memudahkan prakteknya, dilansir dari medicine.umich.edu ada tips nih yang bisa dilakukan, yakni :
Mudah sekali bukan? -“Wherever you are, be there totally”- Eckhart Tolle Sumber: Michigan Medecine (2020). Mindfulness & Managing Stress during the COVID-19 Pandemic. Diakses dari https://medicine.umich.edu/dept/psychiatry/michigan-psychiatry-resources-covid-19/adults-general-resources/mindfulness-managing-stress-during-covid-19-pandemic Cooper, Kira Jade. (2020). Practising mindfulness can help us through the coronavirus pandemic. Diakes dari https://theconversation.com/practising-mindfulness-can-help-us-through-the-coronavirus-pandemic-140617 Kriakous, Sarah Angela, et al. (2021). The Effectiveness of Mindfulness-Based Stress Reduction on the Psychological Functioning of Healthcare Professionals: a Systematic Review. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/344380399_The_Effectiveness_of_Mindfulness-Based_Stress_Reduction_on_the_Psychological_Functioning_of_Healthcare_Professionals_a_Systematic_Review |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
April 2022
Categories |