Hai, balik lagi sama Fakta Psikologi yang membahas mengenai gangguan jiwa dan pastinya berdasarkan fakta dari Psikologi.
Kali ini Fakta Psikologi akan membahas mengenai salah satu sindrom yaitu body integrity identity disorder, kira-kira sudah pernah dengar belum sebelumnya? mari simak penjelasan berikut! Body integrity identity disorder (BIID) adalah sindrom di mana seseorang memiliki perasaan intens bahwa tubuh mereka akan lebih lengkap setelah amputasi anggota badan (Kasten, 2009). Sebagian besar ilmuwan berhipotesis bahwa alasannya adalah disfungsi neurologis di area otak yang bertanggung jawab untuk merasakan perbedaan antara tubuh dan lingkungan (Hodzic, Kaas, Muckli, Stirn, & Singer, 2009; McGeoch, Bramg, & Ramachandran, 2009; Oddo et al., 2009; Vitacco, Hilti, & Brugger, 2009). Bagi banyak orang, keinginan untuk kehilangan satu anggota tubuh begitu besar sehingga mereka mencoba untuk mengamputasi bagian tubuh tertentu, misalnya dengan menembak lututnya sendiri, dan ada yang menggunakan guillotine buatan sendiri, gergaji listrik, dry ice, pemotong kayu, atau rel kereta api (Elliott, 2000; Furth & Smith, 2000; Horn, 2003; Kasten, 2006; Money & Simcoe, 1987). Bahkan beberapa orang sampai mencari ahli bedah terbaik di dunia dengan imbalan yang besar untuk melalukan operasi atau amputasi terhadap dirinya (Cuen & Benkoil, 2000; Elliott, 2000; Kasten, 2006). Namun keinginan mereka yang ingin mengamputasi bagian-bagian tertentu dari tubuh mereka sendiri ini mempunyai konsekuensi, salah satu konsekuensi umum adalah adanya beberapa dari mereka yang menderita BIID takut menjadi gila, dan meminta bantuan di institusi atau psikoterapi. Kemudian beberapa tindak lanjut penderita BIID yang berhasil diamputasi mengalami peningkatan kesejahteraan, biasanya tidak mengembangkan keinginan untuk amputasi tambahan, dan tidak menderita nyeri tungkai hantu atau rasa sakit yang seolah berasal dari anggota tubuh yang telah diamputasi atau tidak ada (Bayne & Levy, 2005; First, 2005). Biasanya penderita BIID tidak dapat menjelaskan keinginannya. Hampir semua dari mereka tahu bahwa keinginan mereka untuk menjadi cacat adalah tidak normal, namun hanya sedikit yang dapat menceritakan perasaan ini kepada kerabat atau teman. "Your hardest times often lead to the greatest moments of your life. Keep going. Tough situations build strong people in the end.” ―Roy T. Bennett, The Light in the Heart
0 Comments
Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 3 Desember kita memperingati Hari Disabilitas Nasional. Oleh sebabnya ada bahasan yang menarik terkait hal ini, yakni bagaimanakah Psychological Well-Being (PWB) pada individu dengan disabilitas?
Jadi psychological well-being adalah konsep mengenai kondisi psikologis terkait optimalnya keberfungsian diri. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan dan pandangan diri secara positif. Konsep ini populer dikembangkan oleh Ryff dan Keyes pada tahun 1995. Orang dengan kondisi PWB yang baik akan berpengaruh pada kepuasan hidupnya. Hal ini ditandai dengan memiliki persepsi positif akan diri dan berperilaku positif kepada orang lain, mandiri dalam mengambil keputusan, mampu menciptakan lingkungannya sendiri yang kompatibel, memiliki tujuan, hidup bermakna, dan mampu mengembangkan potensinya secara maksimal. Kemudian definisi disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama (UU. no 8 th. 2006). Penelitian terkait PWB pada penyandang disabilitas banyak dilakukan di luar negeri (internasional) maupun di Indonesia. Hal ini menandakan jika PWB penting untuk dimiliki pada setiap individu pada kondisi apapun. Hasilnya secara akumulasi berpacu pada temuan Horn, individu disabilitas memiliki PWB tinggi apabila mereka memiliki semangat yang tinggi dan memiliki persepsi jika kecacatan bukan hambatan. Hal ini tampak pada atlet-atlet disabilitas. Namun tidak sedikit penyandang disabilitas belum mencapai tahap ini sehingga mereka menjadi terpuruk dan kurang sejahtera secara psikologis. Wah menarik sekali ya bahasan kita, kalau menurut Sobat Sona, apa sih hal yang membuat kalian bermakna? Jawab di kolom komentar ya! “Don't be disabled in spirit, as well as physically" -Stephen Hawking Sumber: Paramita, A., & Nugrahawati, E. N. (2012). Studi Deskriptif tentang Psychological Well-Being pada Tunadaksa di Komunitas Kreativitas Difabel Bandung. 334–341. Halo sobat sona, apa yang kamu pikirkan setelah membaca istilah di atas ?
Pasti penasaran kan mengenai bahasan kita kali ini? simak penjelasannya yuk! Trikotilomania diklasifikasikan sebagai gangguan impuls kontrol dan merupakan sebuah gangguan perilaku menarik rambut secara berulang yang bersifat kronis dan mengakibatkan terjadinya kerontokan rambut. Perilaku menarik rambut tersebut tidak hanya dilakukan pada area kulit kepala, namun juga pada area pubis, alis, atau bulu mata. Trikotilomania dapat terjadi pada anak-anak maupun individu dewasa. Pada individu dewasa, trikotilomania lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria. Perilaku menarik rambut dapat muncul pada saat individu berada dalam situasi yang tenang atau netral, seperti saat membaca buku, menonton televisi, bekerja di depan komputer dan sebaliknya dapat juga terjadi dalam situasi yang penuh tekanan. Beberapa perilaku lainnya yang dapat muncul dalam gangguan trikotilomania berdasarkan DSM IV-TR, yaitu memeriksa akar rambut, memutar-mutar rambut, menarik rambut dengan menggunakan gigi atau memakannya, menarik rambut dari hewan peliharaan, boneka ataupun bahan berserat lainnya. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya trikotilomania, adalah stress, rendahnya kemampuan individu dalam meregulasi emosi, adanya penguat positif dari perilaku tersebut serta faktor genetik (Dewi & Kurniawan, 2020). Trikotilomania memiliki dampak negatif pada fungsi sosial individu, seperti enggan untuk bersosialisasi dengan orang lain, penurunan performa kerja atau akademik, dan mengisolasi diri (Madelaine, 2020). Hilangkan kebiasaan buruk. Kebiasaan ini melelahkan teman. Banyak yang anda korbankan padahal tidak memberikan faedah sama-sekali buat kebaikan hati. Terbiasalah berbuat baik karena kebaikan itu mendamaikan hati. ~ lasealwin Referensi : Dewi, P. Y. T., & Kurniawan, A. (2020). Dinamika psikologis individu yang mengalami Trikotilomania. Jurnal Psikologi Udayana, 7(1), 40-48. Madelaine, D. (2020). GAMBARAN KEPARAHAN PERILAKU MENCABUTI RAMBUT DAN DAMPAK PSIKOSOSIAL PADA WANITA DENGAN TRIKOTILOMANIA (Doctoral dissertation). |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
April 2022
Categories |