Hallo Sobat Sona semua! Kali ini akan membahas mengenai delusi cotard, sudah pernah dengar belum? Ini termasuk gangguan yang langka lho, yuk simak!
Delusi cotard adalah gangguan neuropsikiatri langka di mana orang memegang keyakinan delusi bahwa mereka sudah mati, tidak ada, membusuk, atau telah kehilangan darah atau organ dalam. Dapat dikatakan juga gangguan depersonalisasi yang merupakan gangguan disosiatif (gangguan kepribadian ganda) yang ditandai dengan periode perasaan terputus atau terlepas dari tubuh dan pikiran seseorang (Billon, 2016). Kebanyakan individu yang mengalami delusi cotard memiliki masalah depresi dan kecemasan yang parah. Cara mereka menggambarkan pengalaman yang berhubungan dengan dirinya sendiri sangat tidak wajar. Seperti terus-menerus meyakini bahwa ia memiliki identitas atau "diri" dan menjadi tubuh tanpa isi, yakin bahwa otaknya telah lenyap, ususnya telah menghilang, dan seluruh tubuhnya tembus cahaya (Debruyne dkk., 2009). Pada tahun 2013, seorang laki-laki Inggris bernama Graham didiagnosis menderita delusi cotard setelah menyakini bahwa otaknya mati. Dia percaya bahwa dia sudah membunuh otaknya setelah percobaan bunuh diri akibat depresi berat. Graham mengaku bahwa dia kerap pergi ke kuburan. “Tempat itu adalah yang terdekat dimana saya bisa mati.” Dia mengungkapkan, “Saya tidak perlu berbicara, makan, atau melakukan apapun.” Setelah diberikan psikoterapi dan terapi obat, kondisi Graham berangsur membaik (CNN, 2015). Dalam kasus individu penderita delusi cotard dapat disimpulkan bahwa mereka merasa tidak hidup, seperti dirinya bukanlah dirinya lagi walaupun masih menjalani kehidupan seperti biasanya. Namun, beberapa dari mereka sadar akan perasaan dan pengalaman tidak biasa ini baik terkait kondisi tubuh ataupun mentalnya. "Ada harapan, bahkan ketika otakmu mengatakan tidak ada." -John Green Referensi : Billon, A. (2016). Making sense of the Cotard syndrome: Insights from the study of depersonalization.Mind andLanguage,31(3), 356–391. CNN Indonesia. (2015). Sindrom cotard, ketika seseorang merasa bahwa dirinya telah mati. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20151106073958-255-89810/sindrom-cotard-ketikaseseorang-merasa-dirinya-telah-mati Debruyne, H., Portzky, M., Van den Eynde, F., & Audenaert, K. (2009). Cotard’s syndrome: A review.Current PsychiatricReports,11(3), 197–202.
0 Comments
Hai hai sobat sona, balik lagi sama fakta psikologi!
Sebelum masuk ke pembahasan persona mau nanya nih, menurut sobat sona apa sih identitas itu? Yap, sebagian dari kita pasti akan menjawab identitas sebagai “karakteristik khas” pada diri yang membedakan diri kita dengan orang lain. Namun, sebelum itu pasti kita pernah berada di fase krisis identitas bukan? Lalu bagaimana cara beberapa individu menghadapinya? Hal ini yang kemudian akan kita bahas. Identity foreclosure merupakan istilah yang pertama kali dikemukakan oleh tokoh legendaris psikologi yakni Erik Erikson (1959) dalam fase diagram perkembangan miliknya. Hal ini kemudian dikembangkan lagi oleh James E. Marcia yang kemudian mengidentifikasikan jika fenomena ini umumnya terjadi di fase remaja. Identity foreclosure mengacu pada istilah ketika seseorang secara prematur berkomitmen pada suatu peran yang dijadikan identitasnya atas landasan sosial atau parental dalam rangka menghindari krisis identitas. Sedangkan krisis dalam konteks ini mengacu pada permasalahan yang timbul ketika seseorang melakukan eksplorasi utamanya dalam hal kebermaknaan. Berkaitan dengan definisi itu, teridentifikasi jika identity foreclosure umumnya terjadi di masa remaja. Sebagai gambaran, misal seorang remaja mengatakan jika dia adalah pendukung salah satu kubu politisi besar karena orang tuanya melakukan hal tersebut tanpa mencari tahu mengapa atau menggali alasannya lebih lanjut. Berdasarkan pengertian itu, identity foreclosure merupakan manifestasi hambatan dari eksplorasi identitas diri. Orang-orang dengan identity foreclosure umumnya memiliki kecenderungan untuk mengadopsi pilihan atau keputusan orang tua, kurang memiliki otonomi diri , dan kecenderungan untuk otoriter. Menarik bukan pembahasan kita kali ini? Kalau sobat sona, kira-kira sejak kapan kalian merasa sudah menemukan identitas diri? Boleh share di kolom komentar ya! “In the social jungle of human existence, there is no feeling for being alive without a sense of identity” -Erik Erikson- Source : Brewer, Britton W; Petitpas, Albert J (2017). Athletic identity foreclosure. Current Opinion in Psychology, 16(), 118–122.doi:10.1016/j.copsyc.2017.05.004 Hai hai Sobat Sona jumpa lagi
Seperti biasa kita akan mengupas istilah-istilah menarik psikologi lainnya untuk kalian semua. Kali ini kita akan belajar mengenali apa itu quarter life crisis. Fenomena quarter life crisis sendiri sudah tidak asing lagi bagi kita kalangan remaja. Istilah ini menurut Fischer (Habibie dkk, 2019) merupakan perasaan khawatir yang hadir atas ketidakpastian kehidupan yang akan datang meliputi relasi, karier, dan kehidupan sosial yang terjadi sekitar usia 20-an. Selanjutnya Byock (dalam Khabib, 2020) mendefinisikan quarter life crisis sebagai suatu benturan antara memasuki masa dewasa dengan dorongan untuk mencapai kehidupan yang lebih menantang karena banyaknya pilihan untuk diambil. Misalnya dalam hal relasi interpersonal, pekerjaan serta hubungannya dengan komunitas. Takut untuk mencoba hal baru, tidak ingin meninggalkan zona nyaman, cemas akan masa depan, bingung dengan jalan hidup atau pilihan hidupnya, merasa tidak mampu dalam melakukan suatu hal, dan pemikiran negatif lainnya yang membuat individu stres bahkan depresi (Hayati dalam Khabib,2020). Kategori quarter life crisis adalah sebagai berikut, a) The locked-out form, yaitu ketika individu merasa tidak mampu untuk memiliki peran sebagaiorang dewasa; dan b) The locked - in form, yaitu ketika individu merasa terjebak dalam perannya sebagai orang dewasa. Kedua model ini memang tidak dapat dikatakan universal tetapi cukup representatif dalam memberikan gambaran mengenai keadaan seseorang saat mengalami quarter-life crisis (Robinson dkk dalam Herawati & Hidayat, 2020) Terdapat tujuh aspek yang dapat menjadi pertanda individu mengalami quarter-life crisis menurut Robins dan Wilner (dalam Sumartha, 2020) diantaranya: 1. Kebimbangan dalam pengambilan keputusan 2. Putus asa 3. Penilaian diri yang negatif 4. Terjebak dalam situasi sulit 5. Cemas 6. Tertekan 7. Khawatir terhadap hubungan interpersonal We're Adults? When Did That Happen? How Do Wi Make It Stop? ~ women blazing trails Sumber: Habibie, A., Syakarofath, N. A., & Anwar, Z. (2019). Peran Religiusitas terhadap Quarter-Life Crisis (QLC) pada Mahasiswa. Gadjah Mada Journal of Psychology (GamaJoP), 129-138. Herawati, I., & Hidayat, A. (2020). Quarterlife Crisis Pada Masa Dewasa Awal di Pekanbaru. Journal An-Nafs: Kajian Penelitian Psikologi, 145-156. Khabib, M. F. (2020). Efektivitas Pemberian Hipnosis Untuk Meningkatkan Self-Efficacy Mahasiswa Akhir Dalam Memasuki Dunia Kerja Di Jurusan Psikologi FIP Unnes (Doctoral dissertation, Universitas Negeri Semarang). Sumartha, A. R. (2020). Pengaruh Trait Kepribadian Neuroticism terhadap Quarter-Life Crisis dimediasioleh harapan pada mahasiswa tingkat akhir Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim). Halo, selamat hari senin sobat sona!
Ketemu lagi sama fakta psikologi! Bahas apa lagi ya? Langsung aja yuk! Setiap individu pasti merasakan perasaan takut atau ketakutan. Namun jika individu terus menerus merasakan ketakutan, maka perasaan tersebut dapat menjadi sebuah gangguan. Gangguan ketakutan memiliki bentuk yang bebeda-beda, yaitu berdasarkan obyek yang dijadikan dasar ketakutannya, antara lain adalah ketakutan pada tempat terbuka atau keramaian atau yang disebut agoraphobia. Istilah agoraphobia berasal dari bahasa Yunani yang artinya takut terhadap tempat-tempat belanja (market place). Orang-orang yang memiliki gangguan agoraphobia takut akan kerumunan (crowded) atau tempat-tempat ramai. Mereka juga takut pada ruang-ruang sempit dan akhirnya mereka juga takut akan tempat yang luas dan terbuka, khususnya jika mereka sendirian. Menurut Sutardjo A, Wiramihardja (2005) menjelaskan arti agoraphobia yaitu suatu ketakuatan berada dalam suatu tempat atau situasi di mana ia merasa bahwa ia tidak dapat atau sukar menjadi baik secara fisik maupun psikologis untuk melepaskan diri. Terdapat pula pendapat dari Kartini Kartono (1981) menjelaskan agoraphobia merupakan suatu kondisi di mana penderita menjadi cemas di lingkungan yang asing atau saat mereka merasa memiliki sedikit kontrol. Pemicu untuk kegelisahan ini mungkin termasuk ruang terbuka lebar, orang banyak (kegelisahan sosial), atau bepergian (bahkan jarak pendek). Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan makna dari agoraphobia yaitu perasaan takut di berbagai tempat di mana individu mungkin mendapatkan masalah dalam menyelamatkan diri atau meminta pertolongan dalam keadaan genting (emergency). Keadaan genting yang membuat mereka merasa takut adalah serangan panik. Jika individu sering menganggap ketakutannya sebagai suatu hal yang tidak bisa dihilangkan, maka akan muncul ketegangan, kekacauan pikiran yang diwujudkan melalui tidak ada keberanian dalam berhadapan dengan orang lain. Akan tetapi selama individu mampu mempertahankan kontaknya secara realistis dan memandang secara realistis serta mampu mengatasi permasalahannya dengan benar, maka ketakutannya pada tempat-tempat terbuka atau keramaian tidak akan terjadi. "Dia yang telah mengatasi ketakutannya akan benar-benar bebas." –Aristoteles |
AuthorWrite something about yourself. No need to be fancy, just an overview. Archives
April 2022
Categories |